Tuesday, November 6, 2012

DAMPAK PUTUSAN MK TENTANG PIUTANG BANK BUMN


Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan Amar Putusannya perihal “Piutang Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”. Pada tanggal 17 September 2012, Rapat Permusyawaratan Hakim menerbitkan Surat Putusan MK Nomor: 77/PUU-IX/2011.  Inti dari Surat Putusan yang dibaca pada hari selasa, 25 September 2012 tersebut  ialah, bahwa “Piutang Bank BUMN” bukan “Piutang Negara”. Pada Amar Putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Para Pemohon yang memiliki utang dengan BNI, merasa hak konstitusinya dilanggar. Mengingat mereka tidak mendapatkan haircut (hapus tagih) utang dari BNI yang notabene BUMN, di masa krisis moneter 1997/1998. Padahal disaat yang sama, debitur-debitur nakal mendapat kemudahaan pengurusan utang oleh BPPN, selebihnya mereka menikmati pemotongan utang hingga 50%. Selanjutnya, pengurusan utang para Pemohon diurus oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Alih-alih mendapatkan potongan, menurut Para Pemohon, utang mereka semakin besar.

Pada Amar Putusan tersebut, ada delapan poin keputusan terkait judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 (UU49/1960) tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Keseluruhannya menyatakan, bahwa frasa-frasa yang terkait Piutang BUMN adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan kini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Alhasil, piutang  Bank BUMN tidak lagi menjadi bagian dari piutang negara, sehingga pengurusan penagihannya tidak lagi diurus oleh PUPN.

Lingkup Keuangan Negara
Diskusi mengenai apakah BUMN masih menjadi bagian keuangan negara atau bukan telah lama berlangsung, baik di dunia akademisi maupun praktisi. Setelah terbitnya, paket Undang-Undang Keuangan Negara (UUKN), yang terdiri dari UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pemerintah telah mereposisi keuangan negara menjadi salah satu wujud penting dalam reformasi birokrasi keuangan. UUKN tersebut pula yang mendefinisikan kembali, apa itu yang dimaksud dengan keuangan negara, dan apa pula ruang lingkupnya.

Pada pasal 2 UU 17/2003, dinyatakan bahwa satu dari sembilan lingkup keuangan negara meliputi, kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Jelas sudah bahwa BUMN dan BUMD adalah bagian dari keuangan negara, tidak perlu interpretasi lagi untuk memahami dalil tersebut. Mungkin itu pula mengapa Bab Penjelasan UU 17/2003, merasa tidak perlu untuk menjelaskan lagi maksud dari isi Batang Tubuh tersebut.

Namun, setelah lahirnya UU 19/2003 tentang BUMN dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), muncullah bias perihal lingkup keuangan negara. Kedua produk hukum ini menegasi, pernyataan UUKN tentang “kekayaan yang dipisahkan”, sehingga BUMN tidak lagi jadi bagian dari keuangan negara. Kondisi ini sebenarnya sesuai dengan praktek-praktek bisnis yang lazim. Dimana sang empunya modal (Negara) menjadi terpisah dengan perusahan (BUMN), segera setelah penyertaan modal diserahkan. Konsep ini juga yang dianut dalam akuntansi keuangan dengan istilah “Entitas Terpisah”.


Terlepas dari segala hiruk pikuk adu argumen diatas, Amar Putusan MK tersebut memiliki beberapa konsekuensi. Frasa-frasa (kelompok kata) yang dibatalkan oleh MK pada UU 49/1960 terdiri dari 4 frasa, yang semuanya mengarah pada BUMN, seperti “Badan-Badan Negara” dan “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara”. Tentunya hal ini memiliki dampak. Penganuliran frasa-frasa tersebut tidak hanya merujuk pada Bank BUMN semata, namun juga dapat dijadikan dalil untuk dirujuk kepada seluruh BUMN. Alhasil, seluruh piutang BUMN berpeluang tidak lagi menjadi bagian dari piutang negara. Bahkan, jika diurai lebih luas, Amar Putusan MK yang bersifat final pun bisa diaplikasikan pada tataran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 

Bercerainya piutang BUMN dengan piutang negara membuahkan beberapa respon. Respon positif datang dari bank plat merah, contohnya Bank Mandiri. Seperti yang dapat kita kutip dari berbagai media nasional, bank pemerintah hasil merger di masa krisis itu, telah menyatakan adanya peluang melakukan penghapusan piutang sebesar Rp32 triliun. Dengan adanya Amar Putusan MK, wewenang penuh atas penghapusan (atau pengurangan) piutang kini berada di manajemen BUMN. BUMN tak perlu repot-repot menyerahkan pengurusan piutang-piutangnya ke PUPN. Prosedur penghapusan menjadi lebih ringkas, karena tidak lagi melalui alur birokrasi yang ada pada PUPN.

Namun jika diamati lebih jauh, dengan keluarnya pengurusan piutang BUMN dari mekanisme piutang negara, maka resiko pengendalian atas pengelolaan piutang menjadi lebih besar. Resiko pengendalian yang dimaksud adalah makin terbuka peluang penyalahgunaan ‘hak pengurusan’ piutang. Mengingat pemerintah tidak lagi terlibat secara langsung dalam penyelesaian piutang-piutang bermasalah. Pemerintah memang masih bisa melakukan pengawasan melalui perwakilan yang duduk di dewan komisaris masing-masing BUMN. Walaupun begitu, sikap skeptis tetap harus ditujukan kepada manajemen BUMN yang kini memiliki wewenang lebih besar dalam piutang bermasalah. Karena wewenang besar biasanya dapat merangsang moral hazzard.

Dengan keluarnya piutang BUMN dari piutang negara, memunculkan pertanyaan, apakah lembaga audit negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih berhak melakukan pemeriksaan? Mengingat piutang BUMN tidak lagi masuk dalam piutang negara. Bukankah hal tersebut, seolah menyatakan bahwa piutang BUMN juga telah keluar dari zona keuangan negara? Dan bukankah BPK hanya berhak melaksanakan fungsi pemeriksaan pada lingkup keuangan negara semata?

Atas pertanyaan ini, penulis berpendapat bahwa semuanya harus dikembalikan kepada UUKN, dimana kekayaan yang dipisahkan merupakan salah satu lingkup keuangan. Dan satu hal yang perlu diingat ialah, piutang negara sejatinya merupakan aset negara. Oleh karena itu, penghapusan piutang sesungguhnya ialah penghapusan aset negara. Sehingga, penghapusan atau pengurangan piutang seyogyanya dilaksanakan dengan tidak merugikan negara. 

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa langkah yang diambil BPK dalam menyikapi Amar Putusan MK telah benar. BPK akan mengawasi implementasi hapus tagih (haircut) piutang macet oleh bank BUMN sebagai implementasi dari putusan MK. Hal itu untuk mencegah penyelewengan pada proses hapus tagih tersebut (Media Indonesia,27/09).

Pemeriksaan tersebut sangat penting, guna menilai kembali nilai piutang (revaluasi) sehingga menemukan nilai piutang yang wajar. Dan juga untuk mengetahui keabsahan alasan penghapusan piutang. Sehingga dapat mencari tahu apakah ketidakmampuan debitur dalam membayar utang ke BUMN, disebabkan karena force majeure (seperti Para Pemohon pada kasus di MK), atau lebih disebabkan karena kesalahan manajemen BUMN itu sendiri.

Oleh: Andi
Telah di muat di Dayak Pos - 6 November 2012

No comments:

Post a Comment

:: akuntansi pemerintah akuntansi pemerintahan akuntansi pemerintah indonesia ::
komentar, saran, dan kritik sangat diharapkan untuk menambah kualitas