Sunday, September 22, 2013

Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 12

Menipisnya sekat antar negara akibat dari globalisasi perekonomian dunia menyebabkan pemerintah di negara manapun tidak dapat menghindari penggunaan lebih dari satu mata uang dalam transaksi keuangannya. Pemerintah dihadapkan pada peristiwa yang membutuhkan transaksi dalam mata uang asing, misalnya pada saat pemerintah harus membayar tagihan pihak ketiga atau menerima pinjaman dan/atau hibah dari negara/lembaga donor asing dalam mata uang selain Rupiah atau pelaksanaan tugas  satuan kerja (satker) Perwakilan RI dan Satuan Kerja Atase Teknis (Atnis) di luar negeri  yang melakukan transaksi dengan menggunakan mata uang setempat.

Perlakuan akuntansi atas transaksi dalam mata uang asing pada akuntansi  pemerintahan di Indonesia perlu dibuatkan penjelasan teknis secara khusus atas pengaturan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP). Berdasarkan PP Nomor 71 Tahun 2011 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), khususnya di dalam  penerapan Basis Kas Menuju Akrual (Lampiran II), perlakuan akuntansi atas mata uang asing tersebar di kerangka konseptual dan beberapa PSAP, yaitu:
  • Kerangka Konseptual Paragraf 91, mengatur bahwa pengukuran pos-pos laporan  keuangan menggunakan mata uang Rupiah. Transaksi yang menggunakan mata uang asing dikonversi terlebih dahulu dan dinyatakan dalam mata uang Rupiah.

Liputan Sosialisasi Interpretasi PSAP No. 02, Interpretasi PSAP No. 03, Buletin Teknis SAP No. 11, dan Buletin Teknis SAP No. 12

Jakarta, ksap.org – Salah satu perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan pemerintah adalah adanya kewajiban pemerintah untuk menyampaikan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK dan disusun serta disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, SAP disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) yang independen. Sejak dibentuk, KSAP telah bekerja secara efektif dan memberikan output yang signifikan. Selain PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), sampai dengan akhir tahun 2012, KSAP telah menerbitkan 3 (tiga) Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (IPSAP) dan 12 Buletin Teknis (Bultek) SAP Berbasis Kas Menuju Akrual.
Dalam rangka memberikan penjelasan/pemahaman kepada para stakeholders terkait dengan IPSAP dan Bultek SAP terbaru yang telah diterbitkan oleh KSAP, pada tanggal 13 Desember 2012 bertempat di Hotel Alila Jakarta, KSAP menyelenggarakan sosialisasi IPSAP No. 02 tentang Pengakuan Pendapatan yang Diterima Pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah,  IPSAP No. 03 tentang Pengakuan Penerimaan Pembiayaan yang Diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah dan Pengeluaran Pembiayaan yang Dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah,  Bultek SAP No. 11 tentang Akuntansi Aset Tidak Berwujud, dan Bultek SAP No. 12  tentang Akuntansi Transaksi Dalam Mata Uang Asing. Kegiatan sosialisasi ini diikuti oleh para Kepala Biro Keuangan dan Biro Umum Kementerian Negara/Lembaga, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah, para akademisi, dan undangan lainnya dengan jumlah sekitar 250 peserta.
Acara sosialisasi yang berlangsung selama setengah hari tersebut dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Ketua Komite Konsultatif KSAP yang diwakili oleh Ketua Komite Kerja KSAP, Binsar H. Simanjuntak. Dalam sambutannya, Ketua Komite Kerja KSAP menekankan pentingnya IPSAP dan Bultek SAP dalam peningkatan kualitas laporan keuangan pemerintah. Dari sisi Pemerintah Pusat, kualitas LKPP semakin membaik dari tahun ke tahun dan salah satu tonggak keberhasilan LKPP adalah pencapaian opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) di tahun 2009, 2010 dan 2011 setelah tahun-tahun sebelumnya selalu memperoleh opini Disclaimer. Peningkatankualitas juga ditunjukkan oleh LKKL, dimana pada tahun 2011 persentase LKKL yang mendapatkan opini WTP adalah sekitar 79,8% (67 dari 84 LKKL). Pada pemerintah daerah juga terjadi peningkatan jumlah LKPD yang memperoleh opini WTP walaupun peningkatan tersebut tidak secepat yang terjadi pada Pemerintah Pusat.

Wednesday, July 31, 2013

Program Audit Terintegrasi Bagi LAK Versi PP Nomor 71 Tahun 2010

Auditor internal menggunakan ancangan paripurna financial audit & operational audit sebagai berikut:
  1. Dapatkan seluruh rekening kas dari seluruh jenis perbendaharaan yang berpengaruh secara langsung terhadap Laporan Arus Kas, derajat (level) bendahara, fungsi bendahara, dan sifat pengelolaan kas (misalnya kas operasional berbatas yang diisi kembali pada waktu penggantian bukti kas keluar atau impress system, rekening upah-gaji, rekening tabungan dan lain-lain). Dapatkan informasi seluruh rekening bank yang baru dibuka pada tahun berjalan, rekening ditutup pada tahun berjalan, alasan/manfaat pembukaan/penutupan tiap nomor rekening tersebut, kepatuhan atas prosedur pengamanan penutupan rekening dan pembukaan rekening baru, penggunaan nama resmi lembaga pemilik rekening, serta kelayakan wewenang pengambilan tunai dari tiap rekening (kelayakan otorisasi).
  2. Berdasarkan Sistem Pengendalian Internal Pemerintahan versi PP 60, auditor internal melakukan evaluasi internal control terhadap proses pembuatan LAK. Dapatkan prosedur tatacara kerja & sistem penyusunan LRA dan LAK, terutama Data Based Management System dan Program Perangkat Lunak Penyusunan LAK. Pelajari sistem kendali internal untuk penyusunan LAK, temukan kelemahan sistem kendali internal dan fokuskan program audit pada wilayah kelemahan internal control terhadap LAK.
  3. Dapatkan LRA, APBN atau APBD tahun yang sama dengan LAK, dapatkan (1) laporan perbandingan rencana anggaran penerimaan kas dengan realisasi anggaran penerimaan kas, (2) rekonsiliasi LRA dan LAK, kaitkan dengan Laporan Arus Kas untuk menilai kinerja, antara lain:
    • Kelalaian penagihan piutang negara, tagihan dividen kepada BUMN/D, BI dan lain-lain.
    • Penetapan harga jasa layanan publik tertentu yang berada di bawah anggaran.
    • Pembayaran ganda, uang muka, biaya kesepakatan (commitment fee) atau semacamnya.
    • Pembayaran barang atau jasa yang belum diterima, Berita Acara Serah Terima Pembangunan Aset Tetap fiktif, dan penerimaan barang atau jasa yang berbeda dari kontrak pembelian.
    • Pembayaran upah gaji fiktif, jam kerja fiktif, absensi fiktif, perjalanan dinas fiktif, dan semacamnya.
    • Pembayaran bunga lebih besar dari hasil kalkulasi auditor sendiri, bahas perbedaan tersebut dengan pengelola cq BUN atau BUD.
    • Pengecekan sistem kendali internal kas, rekonsiliasi bulanan akun-akun kas, antar akun kas, kas di perjalanan, uang muka perjalanan dinas belum dipertanggungjawabkan dan kendali internal bagi bon-gantung lain.
    • Unsur bukan kas-tunai yang masuk dalam LAK, bila ada.
    • Audit bank overdraft atau saldo rekening minus, bandingkan dengan perjanjian overdraft dan wewenang bendahara melakukan overdraft akun bank tertentu.
    • Kesalahan cut off transaksi kas dan LAK.
    • Pembayaran transitoris atau nonanggaran.
    • Penerimaan pendapatan kagetan nonanggaran atau transitoris.
  4. Periksa semua Permenkeu, Permendagri, dan Buletin Teknis SAP yang terkait langsung atau tidak langsung dengan Laporan Arus Kas cq Buletin Teknis Kas. Perluas program audit sesuai aspek penting buletin teknis bagi arus kas.
  5. Periksa sistem tatacara pembelian dengan kredit, pesanan dimuka dan kontrak jangka panjang atau semacamnya, bila ada, yakini bahwa sistem KL tersebut  tidak melanggar UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan Petunjuk Pelaksanaannya. Periksa subledger hutang dan kewajiban pembayaran kas, kemudian bandingkan dengan rencana pembayaran kas untuk menghindari tuntutan hukum, denda & penalti kelambatan pembayaran. Dapatkan daftar denda & penalti yang harus dibayar sepanjang tahun berjalan, dan bahas penyebab terjadinya dengan BUN atau BUD, kemudian tanyakan rencana ke depan untuk menghindari munculnya denda, penalti atau tuntutan hukum.
  6. Periksa Subledger Piutang (Kartu Buku Pembantu Buku Besar Piutang), dapatkan Laporan Kinerja Penagihan, bandingkan dengan APBN/D, LRA dan LAK. Temukan keterlambatan penagihan sepanjang tahun berjalan, bahas dengan BUN atau BUD serta pejabat penagihan terkait.
  7. Periksa apakah pengumuman dividen diperlakukan sebagai tambahan nilai investasi dan dikelola oleh Bendahara sebagai piutang dividen, apabila investasi menggunakan akuntansi berbasis equity method. Periksa catatan ekstra-comptabel pengumuman dividen untuk penyertaan yang dicatat dengan cost method, dan periksa follow up action perolehan dividen tersebut oleh BUN  atau BUD secara tepat waktu.
  8. Periksa manajemen pembelian mata uang asing, penjualan/penunaian mata uang asing, dan manajemen selisih kurs. Dapatkan daftar kerugian negara akibat selisih kurs, bandingkan dengan untung-rugi selisih kurs yang dilaporkan pada LO, kemudian lakukan pemeriksaan lebih mendalam. Dapatkan alasan kerugian mata uang, bahas bersama BUN, BUD, dan BI untuk mengurangi risiko kerugian di masa yang akan datang, kemudian bahas opsi lindung nilai sebagai biaya keuangan dipastikan lebih rendah dari kerugian perubahan mata uang. Periksa sistem & prosedur konversi arus kas mata uang asing ke dalam arus kas mata uang Rupiah, konversi saldo kas valuta asing ke dalam satuan moneter Rupiah untuk catatan akuntansi (accounting records), pembuatan LAK dan Neraca.
  9. Setelah 2015, apabila auditee telah menerapkan PP 71 Full Accrual, periksalah bahwa rencana arus kas masuk dan keluar dalam APBN/D berdasar pengetahuan mendalam akan berbagai subledger penting misalnya subledger pembelian dan hutang, subledger pendapatan akrual dan piutang, subledger persediaan, dan subledger aset tetap.
    • Subledger persediaan dan AT akan memberi indikasi dan basis pembuatan RAPBN/D belanja barang.
    • Subledger hutang memberi indikasi kewajiban pembayaran hutang, skedul pembayaran tahun depan, dan taksiran biaya bunga terkait hutang.
    • Subledger piutang merupakan basis pembuatan RAPBN/D penerimaan pendapatan (akrual) tahun lalu yang ditunaikan (LAK) pada tahun anggaran selanjutnya.
  10. Periksalah lebih mendalam akuntansi kas dan seluruh subledger kas apabila entitas tak menyajikan LAK secara langsung (direct method). Anjurkan entitas membuat LAK berdasar direct method.
  11. Periksa apakah aktivitas operasi benar-benar hanya berisi penerimaan perpajakan, PNBP, hibah, bagian laba atau hasil investasi lain (misalnya bunga, dividen, royalty), penerimaan lain-lain, penerimaan luar biasa dan penerimaan transfer, yakini bahwa arus kas keluar adalah pembayaran pegawai, barang, bunga (di luar pengembalian pokok c.q. aktivitas pendanaan), subsidi, hibah, bantuan sosial, pembayaran lain, pembayaran luar biasa, pembayaran transfer, dan pembayaran dengan peruntukan ditentukan kemudian (paragraf 26).
  12. Periksa apakah benar bahwa aktivitas investasi berasal dari penjualan aset pemerintah, penjualan aset lain, pencairan dana cadangan, penerimaan pelepasan investasi (atau divestasi), penjualan investasi dalam bentuk sekuritas, yakini bahwa pengeluaran investasi berupa pengeluaran untuk memeroleh AT dan aset lain bukan barang, pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah, dan investasi berbentuk sekuritas.
  13. Periksalah apakah aktivitas pendanaan benar-benar meliputi arus kas masuk akibat penerimaan utang (misalnya utang luar negeri), penerimaan karena penerbitan obligasi pemerintah, dan penerimaan piutang pokok atau penerimaan kembali pinjaman (di luar bunga yang masuk aktivitas operasi) yang pernah diberikan kepada pemda & perusahaan negara.
  14. Periksalah, apakah aktivitas transitoris tidak mengandung unsur aktivitas operasi, investasi dan pendanaan, lakukan usulan adjustment LAK apabila ada.
    • Yakini bahwa arus masuk kas dari aktivitas transitoris telah mencakup perhitungan pihak ketiga yang diterima tunai (PFK adalah dana dipotong dari SPM atau diterima tunai oleh pihak ketiga seperti potongan Taspen dan Askes), penerimaan kembali uang persediaan dari bendahara pengeluaran, dan kiriman uang masuk yang berupa mutasi antar rekening dalam entitas LAK itu sendiri.
    • Yakini bahwa arus kas keluar dari aktivitas transitoris telah mencakupi pembayaran/pengeluaran untuk perhitungan pihak ketiga (PFK adalah dana dipotong dari SPM atau diterima tunai oleh pihak ketiga seperti potongan Taspen dan Askes), penyerahan uang persediaan kepada bendahara pengeluaran, dan kiriman uang keluar yang berupa mutasi antar rekening dalam entitas LAK itu sendiri.
  15. Lakukan audit investigasi atas kehilangan kas dan/atau kerugian negara, sesuai Buletin Teknis Kerugian Negara, bila ada.
    Lihat pula makalah Akuntansi Kehilangan, dan ambil hikmah untuk keperluan auditor.
  16. Lakukan Audit SAL dan/atau Silpa sesuai Buletin Teknis.
  17. Waspadai aset lain-lain berbentuk uang tunai, pos uang tunai bukan kas (tunai tidak sesuai definisi Kas dalam PSAP), lakukan audit khusus pada aset tunai bersubtansi titipan, escrow account (telah dikeluarkan dari BUN/BUD, aset tunai yang ditaruh pada rekening khusus menunggu penggunaan bermaksud khusus), upah dan gaji PNS yang telah dikeluarkan dari BUN/BUD tetapi belum diambil oleh yang bersangkutan, uang muka pendapatan pemerintah, uang jaminan kontraktor pembangunan konstruksi pemerintahan, biaya perjalanan dinas belum dipertanggungjawabkan, Bansos dan Hibah berbentuk uang telah dikeluarkan tetapi belum diterima oleh target penerima bantuan, kas dalam perjalanan pada tanggal pisah batas tahun lama-tahun baru dan banyak lagi.

Penutup

Program audit kas mengalami perubahan mendasar akibat kasus Hambalang, Wisma Atlet, dan kewajiban kepatuhan kepada berbagai peraturan perbendaharaan dan Buletin Teknis KSAP tentang Kas dan Kerugian Negara.

oleh: Oleh Dr. Jan Hoesada, C.P.A.
sumber: ksap.org

Buletin Teknis (Bultek) Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP): Update

Buletin Teknis SAP dapat diqiyaskan sebagai pelengkap sekaligus tafsir formal atas pernyataan-pernyataan standar akuntansi yang ada pada SAP.
Buletin Teknis SAP merupakan informasi yang berisi penjelasan teknis akuntansi sebagai pedoman bagi pengguna. Buletin Teknis SAP dimaksudkan untuk mengatasi masalah teknis akuntansi dengan menjelaskan secara teknis penerapan PSAP dan/atau IPSAP.
KSAP telah menerbitkan beberapa Buletin Teknis, hingga kini KSAP telah menerbitkan 11 (sebelas) buletin teknis SAP.

Empat Bultek pertama membahas tentang teknis penyusunan neraca awal dan penyajian Laporan Keuangan dan pengungkapan belanja, sedangkan Bultek berikutnya membahas teknis akuntansi terhadap beberapa akun yang dianggap penting untuk mendapat penjelasan lebih lanjut.

Berdasarkan tanggal terbitnya, terdapat 8 Bultek yang lahir pada saat PP 24 Tahun 2005 berlaku dan selebihnya muncul setelah PP 71 Tahun 2010 ada.

Selain Bultek tentang Aset Tetap, Buletin Teknis tentang Bantuan Sosial dan Aset Tidak Berwujud merupakan Bultek yang muncul dalam era SAP Berbasis Akrual. Dua Bultek SAP termuda tersebut, makin membuktikan eksistensi KSAP sebagai sebuah Komite yang secara akademis dan praktis dapat berperan mendorong Akuntansi Pemerintahan menjadi sebuah bidang yang sangat bergengsi.

Berikut ini adalah Buletin Teknis yang telah diterbitkan KSAP:

    1. Buletin Teknis 01 tentang Neraca Awal Pemerintah Pusat
    2. Buletin Teknis 02 tentang Neraca Awal Pemerintah Daerah
    3. Buletin Teknis 03 tentang Penyajian Laporan keuangan Pemerintah Daerah Sesuai Dengan SAP dengan Konversi
    4. Buletin Teknis 04 tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah 
    5. Buletin Teknis 05 tentang Akuntansi Penyusutan 
    6. Buletin Teknis 06 tentang Akuntansi Piutang 
    7. Buletin Teknis 07 tentang Akuntansi Dana Bergulir 
    8. Buletin Teknis 08 tentang Akuntansi Utang 
    9. Buletin Teknis 09 tentang Akuntansi Aset Tetap
    10. Buletin Teknis 10 tentang Akuntansi Belanja Bantuan Sosial
    11. Buletin Teknis 11 tentang Akuntansi Aset Tak Berwujud
    12. Buletin Teknis 12 tentang Akuntansi Transaksi dalam Mata Uang Asing
    13. Buletin Teknis 13 tentang Akuntansi Hibah
    14. Buletin Teknis 14 tentang Akuntansi Kas
    15. Buletin Teknis 15 tentang Akuntansi Aset Tetap Berbasis AKRUAL
    16. Buletin Teknis 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis AKRUAL
    17. Buletin Teknis 17 tentang Akuntansi Aset Tak Berwujud Berbasis AKRUAL
    18. Buletin Teknis 18 tentang Akuntansi Penyusutan Berbasis AKRUAL
    19. Buletin Teknis 19 tentang Akuntansi Bantuan Sosial Berbasis AKRUAL
    20. Buletin Teknis 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah
    21. Buletin Teknis 21 tentang Akuntansi Transfer Berbasis AKRUAL
    22. Buletin Teknis 22 tentang Akuntansi Utang Berbasis AKRUAL
    23. Buletin Teknis 23 tentang Akuntansi Pendapatan Nonperpajakan
    24. Buletin Teknis 24 tentang Akuntansi Pendapatan Perpajakan 



      *** 
      Baca Juga:
      Koleksi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Lengkap lihat disini
      Koleksi Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (IPSAP) lihat disini

      Wednesday, May 22, 2013

      Tiga Pesan Presiden pada Menkeu Baru



      Jakarta, 21/05/2013 MoF (Fiscal) News - Ada tiga hal penting yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Muhamad Chatib Basri. “Ada tiga hal yang disampaikan Bapak Presiden ketika beliau memanggil saya kemarin sebelum memutuskan untuk mengangkat saya sebagai Menteri Keuangan,” demikian disampaikan Menkeu Muhamad Chatib Basri dalam acara serah terima jabatan Menteri Keuangan pada Selasa (21/5) di Aula Djuanda Kementerian Keuangan, Jakarta.

      Yang pertama, jelasnya, presiden berpesan untuk tetap menjaga fiskal yang berhati-hati. “Saya kira ini menjadi anchor, menjadi jangkar dari kebijakan keuangan ke depan, dan ini adalah satu hal yang sangat penting karena dalam situasi keuangan global yang tidak pasti ini, salah satu hal yang menjadi fondasi utama adalah stabilitas makro,” jelasnya. Stabilitas makro, lanjutnya, hanya dapat dikawal jika defisit anggarannya masih berada pada zona yang aman dan berhati-hati. “Jadi dari sini, presiden berpesan bahwa salah satu tugas Menteri Keuangan adalah menjaga fiskal disiplin,” ujarnya.

      Kedua, mejaga agar target pertumbuhan ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 tercapai. Menurut Menkeu, untuk mempertahankan pertumbuhan eknomi tetap berada pada level 6,2 persen, maka sumber-sumber pertumbuhan harus dijaga, termasuk konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah dan investasi. “Dalam kaitan ini presiden berpesan bahwa perlu dipikirkan mengenai skema-skema atau insentif yang menjamin bahwa fiskal itu bisa mendukung pola investasi yang ada,” paparnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada level yang telah ditargetkan. “Ini tidak mudah, karena di satu sisi fiskal harus dijaga dengan kehati-hatian, di sisi lain perlu dipikirkan skema-skema insentif untuk mendukung investasi,” jelas Menkeu.

      Yang ketiga, penciptaan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. “Saya kira tujuan akhir dari pembangunan pada akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat, dan kalau kita berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat, itu berarti penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan,” papar Menkeu. Oleh karena itu, investasi harus diarahkan pada sektor yang berorientasi pada penciptaan lapangan pekerjaan. “Karena itu, struktur budget, struktur anggaran, struktur fiskal harus juga membantu untuk mendorong penciptaan lapangan kerja, termasuk di dalam investasi-investasi yang ada,” jelasnya.(wa)

      sumber: depkeu.go.id

      Ketua BPK: Jangan bicara kasus, tapi pentingkan sistemnya!


      Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo menegaskan pentingnya membuat suatu sistem untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas. “Jangan bicara kasus. Mebicarakan kasus itu tidak menyelesaikan masalah. Mari kita pentingkan sistem. Sistem ini menguji kepatuhan peraturan perundang-undangan, sedangkan kasus menguji pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang ditimbulkan hanya single effect,” ujarnya dalam Dialog Terbuka bertema Peran BPK dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara Melalui Sistem Informasi, yang berlangsung di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 21 Mei 2013.


      Terkait dengan pentingnya sistem, BPK mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas melalui sistem monitoring. Menurut Ketua BPK, tidak adanya monitoring dapat menumbuhkan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). “Mampukah BPK mewujudkan pemerintahan yang benar-benar transparan dan bisa dipertanggungjawabkan? Munculnya KKN akibat adanya niat dan kesempatan. Karena monitoring kita lemah, maka dapat terjadilah KKN,” paparnya.

      Supaya monitor kuat, harus ada dasar hukum, sinergi, dan konsisten.  Pasal 10 UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, menjadi dasar hukum atas berlangsungnya monitoring. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa BPK berwenang untuk meminta data/dokumen kepada pengelola dan penanggung jawab keuangan negara. Payung hukum ini memungkinkan terjadinya sinergi.

      “Kita harus bersilaturahim. Masing-masing APBN/APBD pasti memiliki anggaran TI. Output dari anggaran itu akan disatukan di pusat data Indonesia, yang disebut Sinergi Nasional Sistem Informasi, yaitu bagaimana menyatukan Indonesia dalam sistem,” jelas Ketua BPK di hadapan 250 peserta Dialog Terbuka yang terdiri dari mahasiswa pascasarjana USU maupun universitas lain di wilayah Medan, pemda provinsi dan kota, pers, serta pejabat di lingkungan BPK RI.

      Hal ketiga untuk mendukung kuatnya monitoring adalah konsisten. Meskipun BPK memiliki kewenangan untuk menarik data, BPK melakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama dengan para stakeholders. “Kalau ketiganya baik dan berjalan, maka akan terwujud transparansi dan akuntabilitas. Orang akan terpaksa untuk patuh. Kalau sudah transparan dan akuntabel, akan ada kepastian hukum, lalu KKN akan hilang secara sistemik,” tambahnya.
      Moderator pada dialog terbuka adalah Sekretaris Jenderal BPK, Hendar Ristriawan, dan dihadiri juga oleh Auditor Utama KN V BPK, Heru Kreshna Reza, Plt. Walikota Medan, Dzulmi Eldin, Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK, Bahtiar Arif, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Sumatera Utara, Muktini, serta civitas akademika di lingkungan USU.

      Menurut Sekretaris Jenderal BPK, universitas adalah pusat ilmu pengetahuan dan terkenal dengan kritik, saran, dan masukan yang tajam. “Kami hadir untuk menjelaskan peran BPK RI dan berharap mendapat masukan bagi perkembangan BPK RI ke depan dalam menjalankan peran dan tugasnya,” ungkap Hendar Ristriawan.

      Dalam sambutannya, Rektor USU Syahril Pasaribu mengapresiasi partisipasi BPK dalam menyelenggarakan Dialog Terbuka ini, sebagai forum untuk memperoleh pemahaman atas peran dan tugas BPK dalam mendorong pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang baik, bersih, transparan, dan akuntabel.

      sumber: BPK RI

      Tuesday, May 21, 2013

      Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


      Salah satu sumber pendapatan asli daerah berasal dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

      Regulasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengalami beberapa perubahan sejak reformasi bergulir.

      Pada dipenghujung era orde baru, dilahirkanlah Undang –Undang Nomor 18 Tahun 1997 (UU 18/1997) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU 18/1997 menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah di masa orde baru hingga masa transisi dan reformasi. Pada tahun 2000, muncul Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang mengkoreksi sebagian dari UU 18/1997. Perubahan UU tersebut, merupakan konsekuensi atas pergerakan politik di Indonesia yang mendorong munculnya desentralisasi sebagai antitesis dari politik sentralisasi, yang selama ini dianut rezim orde baru.

      Pada masa reformasi keuangan negara, dengan munculnya Undang-Undang Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU terkait pemerintah daerah yang baru, maka disahkanlah UU baru yang mengganti UU pajak daerah dan retribusi daerah zaman orde baru tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

      Tuesday, April 23, 2013

      BPK RI Temukan Masalah Dalam Kebijakan dan Pengadaan Swasembada Daging Sapi


      Badan Pemeriksa Keuangan RI menemukan masalah dalam kebijakan dan pengadaan swasembada daging sapi. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota BPK RI, Ali Masykur Musa, dihadapan para wartawan saat konperensi pers pada Rabu (10/4) di Kantor BPK RI, Jakarta.


      Ditegaskan juga bahwa kebijakan dan blue print Pengadaan Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang dibuat oleh Kementerian Pertanian tidak konsisten dan belum menunjukan kinerja yang baik dalam pengendalian impor daging sapi. Hal tersebut mengakibatkan tidak ada kepastian berapa yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan berapa yang disediakan oleh dalam negeri, sehingga data yang ada di dalam negeri tidak menjawab terhadap pasokan daging sapi yang sesungguhnya (tidak mencapai sasaran).

      Selain itu, pelaksanaan kegiatan-kegiatan PSDS Tahun 2010 yang pendanaannya menggunakan sistem bantuan sosial ternyata tidak efektif menunjang pencapaian program PSDS. Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilakukan oleh BPK RI menemukan permasalahan  antara lain pengendalian impor yang masih lemah yang terjadi pada periode s.d September 2011, yaitu kebijakan impor daging sapi, mulai penetapan kebutuhan impor daging sapi sampai dengan pemberian izin impor daging sapi dilakukan oleh Menteri Pertanian.

      “Penetapan kebutuhan impor daging sapi dan pemberian kuota impor tidak berdasarkan blue print PSDS, tidak didokumentasikan dan tidak ada dasar perhitungannya, melainkan hanya berdasarkan kebijakan Menteri Pertanian”, ungkap Ali Masykur Musa.
      Anggota BPK RI juga menyatakan, penyalahgunaan tidak hanya ada pada Kementerian Pertanian, tetapi juga ada pada Kementerian Perdagangan terkait Surat Persetujuan Impor (PI). BPK RI menemukan masalah pada pembebasan PPN. Pembebasan PPN atas impor daging sapi hanya menguntungkan pengusaha tetapi merugikan negara dan petani, sehingga pembebasan PPN tidak berjalan pararel dengan program swasembada daging.

      Temuan BPK RI yang lain terkait program swasembada daging sapi adalah para importir diindikasikan dan diduga melakukan impor daging sapi tanpa Surat Persetujuan Pemasukan (SPP), memalsukan dokumen invoice dengan mengubah nilai CIF (Cost, Insurance, and Freight), memalsukan Surat Persetujuan Impor (PI) daging sapi.

      BPK RI juga menemukan bahwa impor daging sapi yang dilakukan oleh  importir tidak melalui proses karantina, mengubah nilai transaksi impor (CIF) untuk dapat membayar bea masuk yang lebih rendah, kesalahan pengenaan tarif PNBP jasa tindakan karantina daging sapi serta belum adanya harmonisasi peraturan terkait pengklasifikasian jeroan sapi antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai  (DJBC) dan Badan Karantina pertanian untuk keperluan impor.

      sumber BPK.go.id

      Sunday, February 24, 2013

      OJK Bertekad Menjadi Lembaga Terpercaya

      Semenjak terbentuk, segala upaya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mulai dari penataan sumber daya manusianya, hingga mencanangkan lima nilai yang menjadi prinsip strategis OJK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

      “Kelima nilai strategis OJK tersebut adalah integritas, profesionalisme, sinergi, inklusif dan visioner,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad di Jakarta, Kamis (21/2).
      Muliaman berharap, seluruh pejabat dan pegawai OJK bisa menjalankan lima nilai strategis ini dalam aktifitas kesehariannya. Menurutnya, nilai-nilai strategis ini merupakan nilai utama yang menjadi karakter dari segenap insan OJK.
      “Jangan hanya sekedar diucapkan dan ditandatangani saja,” ujar Muliaman dalam sambutannya.
      Ia menjelaskan, nilai integritas ini mencerminkan tindakan seluruh punggawa OJK secara objektif, adil dan konsisten, sesuai dengan kode etik dan kebijakan lembaga. Dalam nilai ini, kejujuran dan komitmen sangatlah penting. Untuk nilai profesionalisme, dibutuhkan sikap penuh tanggung jawab dalam bekerja dan memiliki komitmen yang tinggi dengan tujuan mencapai kinerja yang baik.
      Nilai sinergi, lanjut Muliaman, harus tercermin dengan adanya sikap berkolaborasi secara produktif dan berkualitas dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Baikpemangku kepentingan di internal OJK maupun eksternal.
      Menguraikan nilai inklusif, Muliaman mengajak seluruh pegawai dan pejabat OJK selalu mengedepankan keterbukaan. Kemudian menerima keberagaman pemangku kepentingan. Dalam nilai ini, kesempatan memperluas akses masyarakat terhadap industri keuangan juga sangat diperlukan.