Saturday, May 24, 2014

Menanti Akuntansi Akrual di Kalimantan Tengah: Peluang dan Tantangan

Oleh: Andi
Tidak berlebihan, jika dinyatakan bahwa hampir seluruh sarjana akuntansi di dunia, berpaham mazhab akrual. Mazhab ini berpandangan bahwa basis akrual memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh basis akuntansi lainnya. Diantaranya, basis akrual dinilai mampu memenuhi kehandalan (reliable) sebuah laporan keuangan. Hal ini disebabkan, sebuah transaksi sudah dapat diakui dan dinilai dengan metode tertentu yang telah disepakati, meskipun transaksi belum melibatkan kas sama sekali. Basis akrual mampu memberikan informasi yang lebih mendekati kewajaran. Meskipun faktanya, hampir seluruh praktek curang di dunia akuntansi, acap kali dilakukan dengan memanfaatkan celah yang ada pada mazhab ini.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2013), mengamanahkan kepada pemerintah untuk menetapkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Bahkan, UU tersebut sangat berani mengatur hal teknis pelaporan, hingga urusan basis pencatatan. Secara tersurat, UU 17/2003 telah menyatakan bahwa pelaporan keuangan pemerintah pusat dan daerah akan menggunakan basis akrual, secara bertahap. Hal ini merupakan terobosan yang baik, mengingat puluhan tahun setelah merdeka, Indonesia belum memiliki SAP yang baku.
Kurang dari setahun setelah UU 17/2003 terbit, Presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004). Pada peraturan tersebut, ditegaskan kembali, bahwa basis pencatatan yang menjadi cita-cita pada SAP adalah basis akrual. Hingga akhirnya, pemerintah menerbitkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 (PP 24/2005). SAP tersebut memuat 11 (sebelas) Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP), yang semuanya Berbasis Kas Menuju Akrual. SAP telah mengakomodasi basis akrual dalam pencatatan neraca, namun tidak untuk Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Hingga terbitlah, PP 71/2010 tentang SAP Akrual dan siap untuk menggeser Basis Kas Menuju Akrual menjadi Basis Akrual Murni, setidaknya hingga tahun 2015 nanti.
Resistensi Perubahan
Dalam teori Change Management diungkap banyak permasalahan yang akan muncul dalam sebuah perubahan. Permasalahan tersebut dapat berupa hambatan perubahan, atau sering disebut resistensi perubahan (resistance to change). Dimana dalam setiap perubahan, selalu ada yang pro dan kontra. Ada yang setuju, namun ada pula yang lebih menyukai status quo.

Likuiditas dan Resiko Kas di Akuntansi Pemerintah Daerah


Oleh: Andi
Pada tahun 1670 hingga 1672, pakar fisika klasik Sir Isaac Newton tengah disibukkan dengan riset perihal cahaya. Melalui penelitiannya, Newton mengenal sifat cahaya putih dengan menggunakan prisma, sehingga menyulap cahaya putih menjadi spektrum cahaya warna warni. Warna bak pelangi itu tersusun secara alami mulai dari warna ungu (violet) dan berakhir dengan warna merah. Ungu merupakan warna yang memiliki frekuensi tertinggi, dengan panjang gelombang cahaya terkecil. Frekuensi dan panjang gelombang cahaya menjadi indikator yang menyusun gradasi warna tersebut secara alami dan rapi.

Gradasi likuiditas dan resiko di neraca
Di neraca pemerintah daerah, aset disusun bergradasi. Persis seperti spektrum cahaya milik Newton. Semakin likuid (cair) sebuah aset, maka  Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) akan menempatkannya di posisi teratas. Sama seperti warna ungu yang memiliki frekuensi tertinggi. Lihat saja bagaimana SAP mengelompokkan keluarga aset dalam bilik-bilik bernama Aset Lancar, Investasi Jangka Panjang, Aset Tetap, dan Aset Lainnya, yang secara umum mempertimbangkan likuiditas dari aset, untuk menciptakan gradasi dalam Neraca.
Pada kelompok Aset Lancar inilah, akun Kas ditempatkan sebagai sebuah aset yang paling likuid. Akun Kas bersama-sama dengan Setara Kas dan Investasi Jangka Pendek, memiliki karakter likuditas yang paling menonjol diantara seluruh aset yang ada, dengan perbedaan (gradasi) yang sangat tipis.
Kas, Setara Kas, dan Invetasi Jangka Pendek, sangat tepat bila digambarkan dengan amsal, setali tiga uang. Mirip sekali, serupa tapi tak sama. Pembeda dari ketiganya adalah likuiditas dan resiko yang dikandung oleh aset lancar tersebut. Dari ketiganya, kas merupakan bentuk likuid tertingi, sekaligus aset dengan resiko terendah. Sementara Setara Kas adalah investasi jangka pendek yang sangat mudah dicairkan namun mengandung resiko yang sangat minim. Dan Invetasi Jangka Pendek merupakan aset lancar yang dalam penggunaannya hanya perlu sedikit waktu untuk dapat dimanfaatkan pada transaksi ekonomi dan memiliki sedikit resiko.
Likuiditas dan resiko seperti saling bertolak belakang. Likuiditas pada konteks ini, bisa diartikan sebagai kemampuan aset tersebut, untuk segera digunakan dalam memenuhi kewajiban. Sedangkan resiko, merupakan ketidakpastian nilai yang terkandung pada aset itu sendiri. Sebuah aset yang memiliki likuditas yang tinggi, memiliki kecenderungan pada resiko yang rendah.

Setara Kas bukan Kas
Secara nomenklatur, akun Setara Kas sangat mirip dengan akun Kas. Istilah setara memberikan kesan bahwa akun tersebut memiliki posisi yang sejajar dengan kas. Namun, secara definisi, Setara Kas sesungguhnya lebih dekat kekerabatannya dengan Investasi Jangka Pendek.
Berbeda dengan Kas, akun Setara Kas bukanlah uang tunai. Namun, merupakan investasi jangka pendek, yang sifatnya sangat likuid sehingga siap dijabarkan menjadi kas serta bebas dari risiko perubahan nilai yang signifikan (PSAP Nomor 3). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa akun Setara Kas sesungguhnya merupakan bagian dari investasi jangka pendek.
Setara Kas dan Investasi Jangka Pendek, keduanya merupakan bentuk investasi yang umur pencairannya tidak lebih dari 12 bulan. Hal yang membedakan keduanya, lagi-lagi terletak pada likuiditas dan resiko investasi yang terkandung. Pada akun Setara Kas, investasi tersebut harus siap dijabarkan menjadi kas dan bebas dari resiko perubahan yang signifikan. Sedangkan pada akun Investasi Jangka Pendek, terminologi yang digunakan ialah dapat segera dicairkan dan beresiko rendah.
Istilah-istilah yang digunakan tampak sumir dan sulit untuk dijelaskan secara verbal. Oleh karena itu, SAP telah menafsirkan sendiri perbedaan likuiditas antara siap dijabarkan menjadi kas dengan dapat segera dicairkan, yaitu dengan menyebutkan batas waktu pencairan. Investasi Jangka Pendek disebut Setara Kas, jika investasi dimaksud, mempunyai masa jatuh tempo 3 (tiga) bulan atau kurang dari tanggal perolehannya. Jika, lebih dari itu, dan tidak melewati 12 bulan, maka dengan sendirinya investasi itu digolongkan sebagai Investasi Jangak Pendek.
Pada saat menjelaskan tentang resiko investasi, SAP mencontohkan bentuk investasi jangka pendek adalah berupa deposito berjangka waktu tiga sampai dua belas bulan dan atau yang dapat diperpanjang secara otomatis (revolving deposits); pembelian Surat Utang Negara (SUN) pemerintah jangka pendek oleh pemerintah; dan pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pembatasan waktu hanya diperuntukan pada deposito saja. Karena deposito yang berumur tiga bulan atau kurang, harus diklasifikasikan sebagai Setara Kas. Disaat yang sama, pengklasifikasian SUN dan SBI tidak dibatasi waktu. Oleh karena itu, SUN dan SBI tidak dikelompokkan pada Setara Kas. Secara tersirat, perbedaan antara bebas dari resiko perubahan yang signifikan di Setara Kas dengan beresiko rendah di Investasi Jangka Pendek, hanya terletak pada bentuk investasi jangka pendek yang dipilih.

Fleksibilitas dan SPI
Kas, Setara Kas, dan Investasi Jangka Pendek merupakan unsur pembentuk ekuitas Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) di Neraca Pemerintah Daerah. Transaksi antar ketiga akun tersebut, merupakan bagian dari manajemen kas. Manajemen kas yang seharusnya sangat fleksibel sering berbenturan dengan aturan-aturan pengelolaan keuangan daerah.
Pada Permendagri 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, diatur bahwa investasi jangka pendek dalam bentuk deposito pada bank umum dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan pada jenis penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah. Dengan demikian, transaksi manajemen kas harus melalui mekanisme Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang memerlukan waktu tambahan. Selain itu, manajemen kas akan terpasung pada batas atas anggaran atau pagu dari akun pengeluaran pembiayaan.
Hingga tahun 2007, perubahan Permendagri 13/2006 terbit, dan menghapus pasal 73 yang mensyaratkan penganggaran seperti diatas. Sehingga, aktivitas antar ketiga akun tersebut, atau sekedar pindah buku, tidak perlu lagi direpotkan dengan mekanisme anggaran. Dan akhirnya, fleksibilitas dalam melakukan manajemen kas dapat dilaksanakan. Namun, tidak berarti mengurangi sistem pengendalian intern (SPI) atas pengelolaan kas itu sendiri.
Dari sisi pelaporan, mutasi antar pos dari akun Kas dan Setara Kas tidak diinformasikan dalam laporan keuangan. Hal itu disebabkan, karena kegiatan tersebut merupakan bagian dari manajemen kas, dan bukan merupakan bagian aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan, pembiayaan, dan nonanggaran. Oleh karena itu, agar tetap memiliki SPI yang baik, pemerintah daerah wajib menyelenggarakan Buku Kas Umum atas Kas Daerah, tidak ada lagi alasan untuk melimpah tugas itu kepada bank tempat Kas Daerah disimpan. Agar rekonsiliasi atas Kas, Setara Kas, bahkan Investasi Jangka Pendek dapat berjalan dengan baik, dan memberikan manfaat pengendalian yang memadai.

Auditor BPK RI Opini bersifat pribadi dan tidak mewakili instansi
Artikel ini telah dipublikasikan oleh Dayak Pos, Kamis, 22 Mei 2014.