Thursday, July 24, 2014

ZAKAT DALAM PERSPEKTIF KEUANGAN NEGARA INDONESIA



Oleh: Andi, S.E.

Suatu ketika, Umar r.a. dan para sahabat sedang duduk di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi SAW, seraya berkata: "Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?", maka Rasulullah bersabda "Islam adalah engkau bersaksi tidak ada ilah (yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji jika mampu"
Kemudian laki-laki asing itu berkata "Anda benar!" Umar r.a. dan para sahabat semua heran. Laki-laki asing itu yang bertanya, namun ia pula yang membenarkan.
Kemudian, laki-laki itu bertanya tentang ‘Iman’, tentang ‘Ihsan’ dan tentang ‘Hari Akhir’, lantas Rasulullah menjawab masing-masing pertanyaan, lalu laki-laki itu membenarkan pula masing-masing jawaban.
Setelah itu, orang tersebut pergi dan berlalu. Umar masih diam. Lalu Rasulullah bertanya pada Umar "Tahukah engkau siapa yang tadi bertanya?" Umar menjawab "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui". Lantas Nabi bersabda "Dia adalah Jibril yang datang pada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian"
Zakat: Aktivitas privat dan publik
Zakat sejatinya merupakan salah satu bentuk ibadah seorang hamba kepada Tuhan-nya. Sebagaimana riwayat dari Imam Muslim diatas, yang dicuplik dari Kitab Hadist Arba’in, karya Imam Nawawi. Dalam “Hadits Jibril” tersebut, telah jelas bahwa zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Selain itu, di dalam Al-Quran surat Al-Mu’minuun ayat 4, juga dinyatakan bahwa salah satu ciri orang beriman yang beruntung adalah yang menunaikan zakat. Referensi keagamaan tersebut, menegaskan bahwa realisasi pembayaran zakat bermotif pada alasan yang sangat privat, yaitu melaksanakan perintah agama. Sebuah area yang diatur dan dijamin kebebasannya oleh konstitusi Indonesia.
Disaat Nabi Muhammad SAW mendirikan sebuah pemerintahan yang berpusat di Madinah, maka pengelolaan keuangan negara yang baik menjadi sebuah kebutuhan. Zakat pun kemudian menjadi salah satu sumber pendapatan negara dalam menjalankan fungsi sosialnya. Bahkan, dalam sebuah artikel karya Ugi Suharto, “Zakat Sebagai Lembaga Keuangan Publik Khusus: Refleksi Kitab al Amwal Karya Abu Ubaid (W 838 M)”, dinyatakan bahwa Kitab al-Amwal membuktikan bahwa Rasulullah SAW pada masanya, telah membuat peraturan yang sangat terperinci tentang zakat. Bahkan, dengan dokumentasi dan pencatatan yang memadai. Fakta ini menghapus keraguan yang diutarakan para orientalis seperti Schacht, mengenai “ketidakjelasan” zakat selama masa Rasulullah.
Dalam konteks tersebut, zakat membuktikan dirinya sebagai sebuah aktivitas yang juga masuk ke ranah publik. Zakat dengan segala aspek keagamaan yang melekat padanya, tidak bisa dipungkiri, bahwa zakat turut serta dalam kegiataan sosial, yang bersinggungan dengan aktivitas publik.
Zakat: Dalam Tinjauan Formal
            Secara formal, zakat tidak masuk dalam ruang lingkup keuangan negara di Republik Indonesia. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) pasal 1 dan pasal 2, dimana zakat tidak tercantum dalam 9 ruang yang menjadi lingkup keuangan negara. Tidak seperti pada zaman Nabi, Khulafa Rasyidin dan penerusnya, Keuangan Negara Republik Indonesia tidak menempatkan zakat, sebagai salah satu sumber pendapatan yang digunakan untuk membiayai aktivitas publik. Bercermin pada pasal-pasal UUKN tersebut, zakat seolah-olah kembali dari area publik ke zona privat.