Wednesday, November 21, 2012

Sarang Burung Walet Diantara Potensi Pendapatan Daerah Dan Tata Kota


Oleh: Andi *)

            Sebuah keniscayaan bahwa bisnis sarang burung walet kini telah tumbuh dengan pesat. Dan sebuah fakta yang tidak dapat dinafikan pula, bahwa ’rumah walet’ yang dibangun secara masif di wilayah Kota Palangka Raya berkontribusi negatif terhadap tata kota. Kesemrawutan kian mencoreng citra ’Kota Cantik’, sebuah kota yang beberapa waktu lalu digadang-gadang menjadi ibukota negara.
            Gubernur melalui instruksi No.1568/KP.020/07/2010 tanggal 31 Juli 2010 tentang Penertiban Pengelolaan Pengusahaan Sarang Burung Walet, menegaskan upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk menanggulangi dampak gangguan yang dimunculkan oleh keberadaan sarang walet (Tabengan, 24 Mei 2011). Hal ini mengingat, kondisi tersebut dianggap sudah menganggu ketertiban lingkungan dan merusak tata kota.
            Dari segala macam sisi negatif tersebut, perlu juga kita mengungkap sisi positif dari keberadaan sarang burung walet. Selain dapat menjadi pundi-pundi rupiah masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan, sarang burung walet juga memunculkan potensi pendapatan bagi daerah. Sebut saja retribusi yang bisa didulang dari pengurusan izin Hinder Ordonantie (HO) atau izin gangguan. Terlebih lagi setelah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009) disahkan. Pajak Sarang Burung Walet menjadi satu di antara empat jenis pajak baru yang boleh dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
            Dukungan legalitas dari Pemerintah Pusat ini, tentu dapat menjadi peluang bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Palangka Raya untuk memperbesar potensi pendapatannya. Hanya saja, kita tinggal menunggu payung hukum dan petunjuk teknis di level daerah. Peraturan Daerah menjadi dasar hukum utama di level pemerintah daerah, untuk menetapkan objek pajak dan tarif terkait pajak sarang burung walet tersebut. Dan selanjutnya disusul dengan produk hukum eksekutif yang mengatur segala hal menyangkut penatausahaan.
            Kota Palangka Raya yang merupakan ibu kota dari Provinsi Kalimantan Tengah memang seharusnya berbenah. Palangka Raya suka tidak suka, akan menjadi etalase terdepan bagi Bumi Tambun Bungai, sebuah provinsi yang pada tanggal 23 Mei lalu genap berusia 54 tahun. ‘Kota Cantik’ harus segera berdandan. Oleh karena itu, untuk menghadapi dilema sarang burung walet ini, ‘penertiban’ memang menjadi kata kuncinya.

Potensi Pendapatan Daerah
Bak buah simalakama, di satu sisi sarang burung walet sangat menguntungkan dunia usaha dan pemerintah kota, di sisi lain mengancam ketertiban dan tata kota. Perlu kita ketahui bahwa ada banyak potensi pendapatan daerah yang masih belum dimaksimalkan, terkait sarang burung walet. Mulai dari proses awal hingga aktivitas akhir pada dunia usaha ini.
Sebut saja Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas pembangunan gedung sarang burung walet, atau izin gangguan (HO) dan Pajak Sarang Burung Walet yang sudah disebut diatas. Belum lagi potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, yang mulai tahun 2010 telah dipersiapkan pelimbahan hak pungutnya oleh Pemerintah Pusat ke Pemkot Palangka Raya secara berangsur-angsur, sesuai amanat pasal 182 dan 185 pada UU No. 28 Tahun 2009 tersebut.

Tuesday, November 6, 2012

DAMPAK PUTUSAN MK TENTANG PIUTANG BANK BUMN


Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan Amar Putusannya perihal “Piutang Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”. Pada tanggal 17 September 2012, Rapat Permusyawaratan Hakim menerbitkan Surat Putusan MK Nomor: 77/PUU-IX/2011.  Inti dari Surat Putusan yang dibaca pada hari selasa, 25 September 2012 tersebut  ialah, bahwa “Piutang Bank BUMN” bukan “Piutang Negara”. Pada Amar Putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Para Pemohon yang memiliki utang dengan BNI, merasa hak konstitusinya dilanggar. Mengingat mereka tidak mendapatkan haircut (hapus tagih) utang dari BNI yang notabene BUMN, di masa krisis moneter 1997/1998. Padahal disaat yang sama, debitur-debitur nakal mendapat kemudahaan pengurusan utang oleh BPPN, selebihnya mereka menikmati pemotongan utang hingga 50%. Selanjutnya, pengurusan utang para Pemohon diurus oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Alih-alih mendapatkan potongan, menurut Para Pemohon, utang mereka semakin besar.

Pada Amar Putusan tersebut, ada delapan poin keputusan terkait judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 (UU49/1960) tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Keseluruhannya menyatakan, bahwa frasa-frasa yang terkait Piutang BUMN adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan kini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Alhasil, piutang  Bank BUMN tidak lagi menjadi bagian dari piutang negara, sehingga pengurusan penagihannya tidak lagi diurus oleh PUPN.

Lingkup Keuangan Negara
Diskusi mengenai apakah BUMN masih menjadi bagian keuangan negara atau bukan telah lama berlangsung, baik di dunia akademisi maupun praktisi. Setelah terbitnya, paket Undang-Undang Keuangan Negara (UUKN), yang terdiri dari UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pemerintah telah mereposisi keuangan negara menjadi salah satu wujud penting dalam reformasi birokrasi keuangan. UUKN tersebut pula yang mendefinisikan kembali, apa itu yang dimaksud dengan keuangan negara, dan apa pula ruang lingkupnya.

Pada pasal 2 UU 17/2003, dinyatakan bahwa satu dari sembilan lingkup keuangan negara meliputi, kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Jelas sudah bahwa BUMN dan BUMD adalah bagian dari keuangan negara, tidak perlu interpretasi lagi untuk memahami dalil tersebut. Mungkin itu pula mengapa Bab Penjelasan UU 17/2003, merasa tidak perlu untuk menjelaskan lagi maksud dari isi Batang Tubuh tersebut.

Namun, setelah lahirnya UU 19/2003 tentang BUMN dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), muncullah bias perihal lingkup keuangan negara. Kedua produk hukum ini menegasi, pernyataan UUKN tentang “kekayaan yang dipisahkan”, sehingga BUMN tidak lagi jadi bagian dari keuangan negara. Kondisi ini sebenarnya sesuai dengan praktek-praktek bisnis yang lazim. Dimana sang empunya modal (Negara) menjadi terpisah dengan perusahan (BUMN), segera setelah penyertaan modal diserahkan. Konsep ini juga yang dianut dalam akuntansi keuangan dengan istilah “Entitas Terpisah”.