Wednesday, May 22, 2013

Tiga Pesan Presiden pada Menkeu Baru



Jakarta, 21/05/2013 MoF (Fiscal) News - Ada tiga hal penting yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Muhamad Chatib Basri. “Ada tiga hal yang disampaikan Bapak Presiden ketika beliau memanggil saya kemarin sebelum memutuskan untuk mengangkat saya sebagai Menteri Keuangan,” demikian disampaikan Menkeu Muhamad Chatib Basri dalam acara serah terima jabatan Menteri Keuangan pada Selasa (21/5) di Aula Djuanda Kementerian Keuangan, Jakarta.

Yang pertama, jelasnya, presiden berpesan untuk tetap menjaga fiskal yang berhati-hati. “Saya kira ini menjadi anchor, menjadi jangkar dari kebijakan keuangan ke depan, dan ini adalah satu hal yang sangat penting karena dalam situasi keuangan global yang tidak pasti ini, salah satu hal yang menjadi fondasi utama adalah stabilitas makro,” jelasnya. Stabilitas makro, lanjutnya, hanya dapat dikawal jika defisit anggarannya masih berada pada zona yang aman dan berhati-hati. “Jadi dari sini, presiden berpesan bahwa salah satu tugas Menteri Keuangan adalah menjaga fiskal disiplin,” ujarnya.

Kedua, mejaga agar target pertumbuhan ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 tercapai. Menurut Menkeu, untuk mempertahankan pertumbuhan eknomi tetap berada pada level 6,2 persen, maka sumber-sumber pertumbuhan harus dijaga, termasuk konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah dan investasi. “Dalam kaitan ini presiden berpesan bahwa perlu dipikirkan mengenai skema-skema atau insentif yang menjamin bahwa fiskal itu bisa mendukung pola investasi yang ada,” paparnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada level yang telah ditargetkan. “Ini tidak mudah, karena di satu sisi fiskal harus dijaga dengan kehati-hatian, di sisi lain perlu dipikirkan skema-skema insentif untuk mendukung investasi,” jelas Menkeu.

Yang ketiga, penciptaan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. “Saya kira tujuan akhir dari pembangunan pada akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat, dan kalau kita berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat, itu berarti penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan,” papar Menkeu. Oleh karena itu, investasi harus diarahkan pada sektor yang berorientasi pada penciptaan lapangan pekerjaan. “Karena itu, struktur budget, struktur anggaran, struktur fiskal harus juga membantu untuk mendorong penciptaan lapangan kerja, termasuk di dalam investasi-investasi yang ada,” jelasnya.(wa)

sumber: depkeu.go.id

Ketua BPK: Jangan bicara kasus, tapi pentingkan sistemnya!


Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo menegaskan pentingnya membuat suatu sistem untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas. “Jangan bicara kasus. Mebicarakan kasus itu tidak menyelesaikan masalah. Mari kita pentingkan sistem. Sistem ini menguji kepatuhan peraturan perundang-undangan, sedangkan kasus menguji pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang ditimbulkan hanya single effect,” ujarnya dalam Dialog Terbuka bertema Peran BPK dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara Melalui Sistem Informasi, yang berlangsung di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 21 Mei 2013.


Terkait dengan pentingnya sistem, BPK mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas melalui sistem monitoring. Menurut Ketua BPK, tidak adanya monitoring dapat menumbuhkan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). “Mampukah BPK mewujudkan pemerintahan yang benar-benar transparan dan bisa dipertanggungjawabkan? Munculnya KKN akibat adanya niat dan kesempatan. Karena monitoring kita lemah, maka dapat terjadilah KKN,” paparnya.

Supaya monitor kuat, harus ada dasar hukum, sinergi, dan konsisten.  Pasal 10 UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, menjadi dasar hukum atas berlangsungnya monitoring. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa BPK berwenang untuk meminta data/dokumen kepada pengelola dan penanggung jawab keuangan negara. Payung hukum ini memungkinkan terjadinya sinergi.

“Kita harus bersilaturahim. Masing-masing APBN/APBD pasti memiliki anggaran TI. Output dari anggaran itu akan disatukan di pusat data Indonesia, yang disebut Sinergi Nasional Sistem Informasi, yaitu bagaimana menyatukan Indonesia dalam sistem,” jelas Ketua BPK di hadapan 250 peserta Dialog Terbuka yang terdiri dari mahasiswa pascasarjana USU maupun universitas lain di wilayah Medan, pemda provinsi dan kota, pers, serta pejabat di lingkungan BPK RI.

Hal ketiga untuk mendukung kuatnya monitoring adalah konsisten. Meskipun BPK memiliki kewenangan untuk menarik data, BPK melakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama dengan para stakeholders. “Kalau ketiganya baik dan berjalan, maka akan terwujud transparansi dan akuntabilitas. Orang akan terpaksa untuk patuh. Kalau sudah transparan dan akuntabel, akan ada kepastian hukum, lalu KKN akan hilang secara sistemik,” tambahnya.
Moderator pada dialog terbuka adalah Sekretaris Jenderal BPK, Hendar Ristriawan, dan dihadiri juga oleh Auditor Utama KN V BPK, Heru Kreshna Reza, Plt. Walikota Medan, Dzulmi Eldin, Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK, Bahtiar Arif, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Sumatera Utara, Muktini, serta civitas akademika di lingkungan USU.

Menurut Sekretaris Jenderal BPK, universitas adalah pusat ilmu pengetahuan dan terkenal dengan kritik, saran, dan masukan yang tajam. “Kami hadir untuk menjelaskan peran BPK RI dan berharap mendapat masukan bagi perkembangan BPK RI ke depan dalam menjalankan peran dan tugasnya,” ungkap Hendar Ristriawan.

Dalam sambutannya, Rektor USU Syahril Pasaribu mengapresiasi partisipasi BPK dalam menyelenggarakan Dialog Terbuka ini, sebagai forum untuk memperoleh pemahaman atas peran dan tugas BPK dalam mendorong pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang baik, bersih, transparan, dan akuntabel.

sumber: BPK RI

Tuesday, May 21, 2013

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


Salah satu sumber pendapatan asli daerah berasal dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Regulasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengalami beberapa perubahan sejak reformasi bergulir.

Pada dipenghujung era orde baru, dilahirkanlah Undang –Undang Nomor 18 Tahun 1997 (UU 18/1997) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU 18/1997 menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah di masa orde baru hingga masa transisi dan reformasi. Pada tahun 2000, muncul Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang mengkoreksi sebagian dari UU 18/1997. Perubahan UU tersebut, merupakan konsekuensi atas pergerakan politik di Indonesia yang mendorong munculnya desentralisasi sebagai antitesis dari politik sentralisasi, yang selama ini dianut rezim orde baru.

Pada masa reformasi keuangan negara, dengan munculnya Undang-Undang Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU terkait pemerintah daerah yang baru, maka disahkanlah UU baru yang mengganti UU pajak daerah dan retribusi daerah zaman orde baru tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.