PERKEMBANGAN ORGANISASI KELEMBAGAAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA : sebuah diskusi 1)
Oleh: Yth. Bapak Siswo Suyanto
Transformasi kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan di Indonesia sebagai lembaga pengawasan di bidang keuangan Negara tampak sebagai suatu proses yang tiada henti. Dimulai dari suatu instansi pengawasan internal pada masa Hindia Belanda, lembaga tersebut berubah menjadi sebuah instansi pengawasan eksternal.
Disamping itu, dilihat dari sudut substansi tugas atau perannya, lembaga yang semula terfokus pada pemeriksaan pembukuan dan laporan instansi pemerintah negara jajahan, kemudian berkembang perannya sebagai suatu lembaga peradilan, khususnya bagi pengelolaan keuangan negara. Di masa setelah kemerdekaan, transformasi tersebut terus berlanjut.
Dengan mengacu pada ICW dan IAR, gagasan tentang bentuk kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan republik yang baru lahir tersebut terus dikembangkan. Munculnya pemikiran untuk menerapkan pola Sad Praja dalam sistem politik di Indonesia, pada akhirnya, telah menempatkan lembaga ini sebagai salah satu lembaga politik dengan status sebagai lembaga tinggi negara. SESUAI KEBUTUHAN : BPK adalah sebuah lembaga audit Bila diperhatikan, perubahan organisasi kelembagaan BPK didasarkan pada perkembangan legal basis terkait dengan pemikiran tentang lembaga itu sendiri. Selama ini disadari sepenuhnya, walaupun UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak banyak menjelaskan tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dengan bermodalkan pada gagasan yang ada sejak zaman Hindia Belanda, semua pihak berpendapat bahwa BPK merupakan kelanjutan dari Algemeine Rekenkammer (ARK).
Oleh sebab itu, melekat dalam citra BPK adalah sebagai sebuah lembaga yang melakukan pemeriksaan tanggungjawab pengelolaan keuangan negara, di satu sisi; dan sebagai lembaga peradilan administratif (quasi juridictionnelle), di sisi lain.
Dari diskusi dengan berbagai pihak dan dengan memperhatikan ketentuan yang ada dapat diperoleh sebuah gambaran bahwa sebenarnya tidak banyak yang mampu membedakan, apa sebenarnya yang menjadi obyek peradilan yang diselenggarakan oleh BPK. Apakah tindakan para Bendaharawan yang terrefleksi dalam laporan pertanggungjawaban keuangannya, dus hanya semacam penelitian terhadap laporan pertanggungjawaban para Bendaharawan yang disampaikan kepada BPK, ataukah justru para Bendaharawan itu sendiri yang diadili tanpa harus menghadirkan mereka secara fisik ?
Kesan bahwa BPK di masa lalu adalah sebuah lembaga peradilan seperti halnya Cours des Comptes di Perancis, memang tidak dapat dihindarkan, bila kita memperhatikan kelengkapan (atribut) lembaga tersebut di masa lalu, baik dari fisik/ kelengkapan kantor, organisasi, maupun SDM yang ternyata lebih banyak didominasi oleh mereka-mereka yang memiliki pengetahuan di bidang hukum.
Namun, apapun yang dicitrakan, menurut kenyataannya sebagaimana dinyatakan dalam UUD 45, BPK adalah sebuah lembaga audit. Sebuah lembaga audit yang pola dan tata cara kerjanya mengacu pada ICW (Indische Comptabiliteits Wet), IAR (Instructie en verdere bepalingen voor Algemeine Rekenkammer), dan mungkin juga, secara tidak langsung, mengacu pula pada RAB (Regelen voor he Administratief Beheer).
Sementara itu, ciri BPK sebagai lembaga peradilan administratif semakin hari justru semakin memudar. Perkembangan ini, tampaknya karena adanya keterpengaruhan praktek di berbagai negara yang menghendaki peran auditor independen yang semakin meningkat untuk melakukan pengawasan terhadap praktek pengelolaan keuangan negara, di satu sisi; dan munculnya pemikiran semakin rendahnya kebutuhan terhadap peran bendaharawan, di sisi lain.
Dalam kaitan ini, banyak dipersepsikan bahwa pengertian dan peran bendaharawan tidaklah sebagaimana yang dimaksudkan dalam sistem tata kelola keuangan negara di masa lalu. Oleh sebab itu, kedudukan sebagai lembaga peradilan semakin tidak terperhatikan. Kendati, usaha untuk tetap mempertahankan kedudukan tersebut masih ada. Di sisi lain, berbagai pihak justru cenderung berpendapat bahwa peran BPK sebagai lembaga peradilan tergeser oleh lahirnya lembaga peradilan administrasi di republik ini.
Ringkasnya, kini BPK cenderung merupakan sebuah lembaga audit independen bagi Pemerintah. Banyak pihak yang melihat bahwa BPK telah mentransformasikan dirinya seolah sebagai GAO bagi Pemerintah.
Ini adalah keinginan berbagai pihak yang kemudian dituangkan dalam amandemen UUD 45. Dan gagasan menjadikan BPK sebagai lembaga audit ini telah membawa BPK ‘mengadopsi’ beberapa aspek praktis tentang kelembagaan audit dari GAO maupun dari lembaga internasional lainnya.
Penegasan cakupan keuangan negara sebagai obyek sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Keuangan Negara yang lahir setelah amandemen dimaksud semakin mengukuhkan gagasan bahwa BPK adalah sebuah lembaga audit. Lembaga audit bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan bagi lembaga pengelola kekayaan negara yang dipisahkan (BUMN/D).
IMPLIKASI TERHADAP ORGANISASI : lahirnya sebuah miniatur
Kenyataan sebagaimana tersebut di atas, bila diperhatikan, adalah awal bagi sebuah perkembangan organisasi BPK. Luasnya cakupan kewilayahan menuntut lembaga tersebut memiliki organ struktural yang dapat membantu melakukan perannya dalam pengawasan pengelolaan keuangan negara.
Hal ini merupakan daya dorong yang sangat kuat bagi kelahiran kantor perwakilan di hampir seluruh Indonesia. Ini adalah sebuah tuntutan, mengingat pelaksanaan APBN dilakukan bukan saja oleh instansi kementrian/ lembaga yang berada di tingkat pusat, tetapi juga oleh instansi vertikalnya yang terserak di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, dorongan tersebut juga terjadi karena semakin berkembangnya Pemerintahan di daerah. Namun demikian, semakin berkembangnya lembaga pemerintahan daerah ini bukan sekedar menuntut perkembangan organisasi struktural BPK, khususnya di daerah, tetapi juga dapat dikatakan, perkembangan bagi peran BPK.
Pemerintahan Daerah adalah sebuah entitas yang berdiri sendiri. Dalam sudut pandang Hukum Keuangan Negara, Pemerintahan Daerah adalah sebuah miniatur sebuah negara. Sebuah wilayah yang secara politis memiliki fungsi legislatif dan fungsi eksekutif. Dua lembaga politis yang sangat berperan dalam pengelolaan keuangan negara.
Oleh sebab itu, sesuai dengan azas desentralisasi, kekuasaan pengelolaan keuangan negara dalam wilayah tersebut oleh Presiden diserahkan kepada Kepala Daerah masing-masing sesuai tingkatannya, yaitu kepada Gubernur, Bupati, dan kepada Walikota. Hal ini jelas dinyatakan dalam pasal 6 Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Inilah yang kemudian justru difikirkan oleh berbagai pihak. Bila di tingkat Pusat BPK memiliki peran sebagaimana dinyatakan dalam UUD 45 dalam pengelolaan keuangan negara, bagaimana dengan peran BPK di tingkat pemerintahan Daerah yang merupakan miniatur negara ? Secara logis, tidak salah bila berbagai pihak kemudian memikirkan bahwa perlu diciptakan ‘BPK-BPK mini’ di berbagai daerah (Propinsi) sebagai ‘pendamping’ pemerintahan di daerah.
PERMASALAHAN YANG TIMBUL : hubungan antara BPK Pusat dan Kantor Perwakilan
Dari perkembangan organisasi di atas, kini mulai muncul berbagai pertanyaan. Siapa sebenarnya Kantor Perwakilan BPK, dan apa kedudukannya ? Jawaban pertanyaan ini bukan saja harus dilihat dari sebuah dimensi pemerintah pusat, yaitu dalam konstelasi kelembagaan pemerintah pusat, tetapi juga dalam dimensi pemerintah daerah.
Apakah Kantor Perwakilan BPK adalah sebuah ‘BPK mini’ sebagai partner sebuah miniatur negara ? Ataukah, Kantor Perwakilan BPK sebagai sebuah arm length dari BPK Pusat dalam melakukan audit terhadap pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat ? Ini harus jelas, karena memiliki konsekuensi yang berbeda. Atau kedudukan, peran, dan tugasnya merupakan kombinasi dari kedua hal tsb ? Bila demikian halnya, bagaimana aspek terkait dengan semua itu harus diatur ?
Menurut kenyataan, dari ketentuan yang ada (tentang struktur organisasi yang ditetapkan oleh ketua BPK) kedudukan, peran, dan tugas Kantor Perwakilan BPK adalah sebuah perpaduan/ kombinasi. Hal ini tergambar dengan jelas dari tugas pokok dan kewenangan yang spesifik terkait dengan pengelolaan keuangan pemerintah daerah, termasuk dalam hal ini pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Disamping itu, Kantor Perwakilan BPK juga harus melaksanakan penugasan yang diberikan oleh BPK Pusat. Yang justru harus mendapat perhatian dalam hal ini adalah bahwa dengan peran, kewenangan, dan tugas sebagaimana tersebut, apakah Kantor Perwakilan BPK layak sebagai instansi bereselon yang berada di bawah BPK Pusat.
Padahal BPK sendiri merupakan sebuah lembaga politik dengan status lembaga tinggi negara. Bila demikian halnya, Perwakilan BPK di daerah, yang memiliki predikat sebagai ‘BPK mini’ sebagai partner Pemerintah daerah, selayaknya bukanlah sebuah instansi yang merupakan onderbouw sebuah instansi pusat. Memberikan predikat ‘BPK mini’ kepada Kantor Perwakilan BPK adalah menyamakan dengan keberadaan Chambre Regionale des Comptes di Perancis dalam sistem kelembagaan pengawasan keuangan negara di Perancis.
Bila memang demikian halnya, hubungan antara BPK Pusat dengan Kantor Perwakilan BPK seharusnya bersifat ‘setara yang tidak setara’. Dalam pengertian bahwa BPK Pusat bukanlah merupakan instansi induk yang mampu mengendalikan Kantor Perwakilan BPK sebagaimana layaknya instansi birokrasi pada umumnya. Kantor Perwakilan BPK tidak dapat dipersepsikan sebagai Kantor Perwakilan atau Kantor wilayah sebuah kementrian dengan status kelembagaan struktural. Ini bukan sekedar masalah eselonering Perwakilan BPK yang ternyata kurang memadai dihadapkan dengan partner mereka di daerah. Ini adalah terkait dengan status kelembagaan.
Terkait dengan itu, terdapat dua alasan yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa: 1. Peran BPK yang diemban oleh para anggota BPK tidak dapat didelegasikan kepada pejabat struktural, mengingat para pejabat struktural di bawah Anggota merupakan pelaksana kebijakan yang digariskan oleh BPK, khususnya untuk kewenangan yang menjadi tanggungjawab Anggota. 2. Partner Kantor Perwakilan BPK, yaitu lembaga pemegang fungsi eksekutif dan lembaga pemegang fungsi legislatif, pada hakekatnya, adalah lembaga politik daerah yang berstatus sebagai ‘lembaga tinggi daerah’.
K E S I M P U L A N
1. Terdapat pergeseran yang signifikan terhadap peran BPK yang kini cenderung lebih mengarah pada aspek audit pengelolaan keuangan negara dibandingkan dengan peran BPK sebagai lembaga peradilan administratief;
2. Dalam sistem politik Indonesia, meskipun sebagai lembaga audit, BPK merupakan sebuah lembaga politik;
3. Kantor Perwakilan BPK yang ada di daerah memiliki peran sebagaimana layaknya BPK Pusat, namun dengan status sebagai instansi vertikal sebuah lembaga birokrasi.
*
* *
1) Disampaikan dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh BPK tanggal 23 April 2012 di BPK Jakarta.
Di Copy-Paste Menyeluruh dari keuanganpublik.com
No comments:
Post a Comment
:: akuntansi pemerintah akuntansi pemerintahan akuntansi pemerintah indonesia ::
komentar, saran, dan kritik sangat diharapkan untuk menambah kualitas