Friday, November 13, 2015

Buletin Teknis Nomor 16 Tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual

Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yang berbasis akrual, mengatur bahwa  pendapatan diakui pada saat timbulnya hak atas pendapatan tersebut  atau ada aliran masuk sumber daya ekonomi dan beban diakui pada saat timbulnya kewajiban, terjadinya konsumsi aset atau terjadinya penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa sedangkan belanja diakui berdasarkan terjadinya pengeluaran dari rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Pengalaman implementasi SAP selama ini, khususnya pada saat penutupan buku pada akhir tahun, menunjukkan masih terdapat berbagai macam penafsiran dalam mengindentifikasi,mengukur, menyajikan dan mengungkapkan pos-pos dalam laporan keuangan.

Hal tersebut disebabkan PSAP hanya menetapkan secara umum mengenai  identifikasi, pengukuran, penyajian dan pengungkapan pos-pos laporan keuangan, sehingga masih memerlukan penjelasan atas pos-pos di neraca sesuai dengan karakteristiknya.

Salah satu pos yang penting di Neraca adalah piutang, dimana pada tanggal laporan keuangan, apabila terdapat hak pemerintah untuk menagih, harus dicatat sebagai penambahan aset pemerintah berupa piutang.

Definisi aset menurut PSAP 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan, adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. 


Selanjutnya khusus mengenai piutang, pada paragraf 49 PSAP
01, dinyatakan bahwa Neraca mencantumkan sekurang-kurangnya piutang pajak dan bukan pajak.Dalam praktik banyak peristiwa yang menyebabkan timbulnya piutang, yang merupakan salah satu aset penambah kekayaan bersih pemerintah. Hak pemerintah ini tidak hanya terbatas pada piutang pajak dan bukan pajak, tetapi juga sumber daya ekonomi lain akibat peristiwa-peristiwa masa lalu yang menimbulkan hak pemerintah, yang akan dijabarkan lebih lanjut dalam Bultek ini.
 

IPSAS menyatakan bahwa secara substansi suatu transaksi pendapatan terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu pendapatan dari pertukaran(Revenue from Exchange Transaction-IPSAS 9) dan pendapatan dari transaksi non pertukaran (Revenue from NonExchange Transaction-IPSAS 23).

Transaksi pertukaran menyebabkan entitas menerima barang dan jasa, atau pengurangan utang dengan memberi nilai setara atau hampir setara barang, jasa atau penggunaan aset entitas, misalnya transaksi pembelian-penjualan barang atau jasa, dan sewa fasilitas bangunan atau sarana. Penyediaan jasa terkait kinerja yang disepakati untuk suatu periode waktu tertentu, suatu peristiwa, periode, lintas periode,misalnya jasa layanan yang menghasilkan pendapatan fasilitas air dan jalan tol.

Transaksi non pertukaran (non exchange transaction) terjadi karena suatu entitas menerima suatu barang/jasa atau nilai tertentu tanpa langsung memberikan suatu nilai yang setara. Termasuk dalam transaksi non pertukaran ini misalnya: pendapatan akibat penggunaan
kekuasaan, misalnya pajak langsung atau tak langsung, bea meterai, denda, sumbangan, dan donasi.


Dalam Bab VIII hal Keuangan Undang Undang Dasar 1945, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang,dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara ditetapkan dengan undang-undang. Menurut ketentuan tersebut, pendapatan berupa pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa,
merupakan sumber pendapatan utama pemerintah untuk membiayai keperluan negara, seperti yang tercantum dalam APBN.

Peristiwa atau transaksi lain yang menimbulkan hak pemerintah untuk menagih, antara lain timbul dari perikatan misalnya transaksi pemberian pinjaman oleh pemerintah, jual beli atau pertukaran, kemitraan, dan pemberian jasa-jasa yang telah dilakukan pemerintah. Peristiwa lainnya adalah berkaitan dengan timbulnya hak tagih dalam hal terjadi kerugian negara maupun putusan pengadilan. Selanjutnya juga perlu diberikan pedoman terhadap pengakuan timbulnya hak tagih
atas pungutan pendapatan negara/daerah, perikatan, tuntutan ganti rugi serta akibat keputusan pengadilan. Selama ini dikenal pengakuan dan pencatatan piutang berdasarkan nilai nominal saja, tanpa memperhitungkan kolektibilitas sesuai dengan sifat dan karakteristik debitur. Hal tersebut akan menimbulkan kerugian moril bagi bangsa dan negara (moral hazard) yang tinggi atas akuntansi piutang, karena dapat menimbulkan adanya hak pemerintah untuk menagih, yang tidak dilaporkan atau yang disalahgunakan.


Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka dirasakan perlunya Buletin Teknis tentang Piutang, untuk memberikan panduan agar terdapat kesamaan pemahaman tentang cara mengindentifikasi, mengukur, dan menyajikan pos piutang, baik oleh penyusun laporan,  pengguna laporan, dan institusi yang melakukan audit atas Laporan
Keuangan pemerintah.


Buletin Teknis  ini tidak mengatur mengenai:
a. Piutang Pemberian Penerusan Pinjaman;
b. Piutang Dana Bergulir (Buletin Teknis Nomor 07 Tentang Akuntansi Dana Bergulir);
c. Piutang Bantuan Sosial
(Buletin Teknis Nomor 10 Tentang Akuntansi Belanja Bantuan Sosial);
d. Piutang Transfer antar Pemerintahan.


Disadur dari Pendahuluan Buletin Teknis Nomor 16 Tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual.

*** 
Baca Juga:
Koleksi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Lengkap lihat disini
Koleksi Buletin Teknis (Bultek) lihat disini
Koleksi Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (IPSAP) lihat disini
 

Monday, November 9, 2015

Ulasan Umum Standar Akuntansi Pemerintahan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal 32 mengamanatkan bahwa bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan tersebut disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Penyusunan SAP Berbasis Akrual dilakukan oleh KSAP melalui proses baku penyusunan (due process). Proses baku penyusunan SAP  tersebut merupakan pertanggungjawaban profesional KSAP yang secara lengkap terdapat dalam Lampiran III.


Penyusunan PSAP dilandasi oleh Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan, yang merupakan konsep dasar penyusunan dan pengembangan Standar Akuntansi Pemerintahan, dan merupakan acuan bagi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, penyusun laporan keuangan, pemeriksa, dan pengguna laporan keuangan dalam mencari
pemecahan atas sesuatu masalah yang belum diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan.


Sesuai dengan amanat Undang-Undang Keuangan Negara tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Standar Akuntansi Pemerintahan tersebut menggunakan basis kas untuk pengakuan transaksi pendapatan, belanja dan pembiayaan, dan basis akrual untuk
pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dana.



Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 masih bersifat sementara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan
pengukuran berbasis kas. Pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun.
 

Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 perlu diganti. Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini meliputi SAP Berbasis Akrual dan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual. SAP Berbasis Akrual terdapat pada Lampiran I dan berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas. SAP Berbasis Kas Menuju Akrual pada Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual. Penerapan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual ini dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
 

Selanjutnya, setiap entitas pelaporan, baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah wajib melaksanakan SAP Berbasis Akrual. Walaupun entitas pelaporan untuk sementara masih diperkenankan menerapkan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual, entitas pelaporan diharapkan dapat segera menerapkan SAP Berbasis Akrual.

Laporan keuangan yang dihasilkan dari penerapan SAP Berbasis Akrual dimaksudkan untuk memberi manfaat lebih baik bagi para pemangku kepentingan, baik para pengguna maupun pemeriksa laporan keuangan pemerintah, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip akuntansi yaitu bahwa biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh.

Selain mengubah basis SAP dari kas menuju akrual menjadi akrual, Peraturan Pemerintah ini mendelegasikan perubahan terhadap PSAP diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Perubahan terhadap PSAP tersebut dapat dilakukan sesuai dengan dinamika pengelolaan keuangan negara. Meskipun demikian, penyiapan pernyataan SAP oleh KSAP tetap harus melalui proses baku penyusunan SAP dan mendapat pertimbangan dari BPK.